Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana Sumobito berubah perlahan. Hiruk pikuk siang hari mulai mereda, digantikan oleh ketenangan malam yang khas. Sumobito, sebuah kecamatan yang tenang di Jombang, seolah menarik napas panjang setelah seharian beraktivitas. Namun, ada satu tempat yang tetap hidup meski malam mulai larut: Stasiun Kereta Api Sumobito.
Stasiun kecil ini menjadi simpul penting bagi mobilitas warga, terutama mereka yang bekerja atau bepergian ke Surabaya, Kertosono, atau Jombang kota. Pada malam hari, suasana stasiun menjadi unik: tenang, namun penuh harapan. Lampu-lampu peron menyala hangat, menyinari kursi-kursi tunggu dan papan jadwal keberangkatan yang masih aktif.
Sekitar pukul 20.30–21.00 WIB, kereta api terakhir biasanya singgah di Stasiun Sumobito. Kereta lokal seperti Dhoho atau Penataran menjadi andalan banyak warga. Suara peluit masinis, deru mesin lokomotif, dan denting roda besi di atas rel memberi nuansa magis tersendiri di tengah kesunyian malam.
Beberapa penumpang turun, disambut keluarga atau langsung menuju ojek pangkalan yang masih berjaga. Sementara itu, penumpang yang hendak berangkat menatap kereta dengan wajah penuh rindu atau semangat untuk menjemput hari esok.
Di luar stasiun, warung-warung kecil masih buka, menyediakan kopi panas, gorengan, dan obrolan ringan khas warga Sumobito. Suasana ini membuat malam di sekitar stasiun tidak pernah benar-benar sepi—ia hidup dalam cara yang sederhana namun berkesan.
Malam hari di Sumobito bukan hanya tentang ketenangan, tetapi juga tentang pertemuan, perpisahan, dan perjalanan. Dan Stasiun Sumobito menjadi saksi bisu dari semua itu—di bawah langit malam yang tenang, di antara rel-rel besi yang menyimpan ribuan cerita.